Tentu kita sering mendengar kata detergen. Ya, kita memang akrab
dengan kata yang satu ini, karena kita menggunakan benda ini mencuci
baju, piring, rambut sampai perabotan rumah. Detergen adalah campuran
berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat
dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun, detergen
mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik
serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air.
Detergen adalah surfaktan anionik dengan gugus alkil (umumnya C9 –
C15) atau garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari Natrium
(RSO3- Na+ dan ROSO3- Na+) yang berasal dari derivat minyak nabati atau
minyak bumi (fraksi parafin dan olefin).
Adapun sifat umum detergen adalah basa, tidak berbuih dan bersifat membersihkan. Sejarah detergen sintetik dimulai di Jerman.
Bahan kimia dari manufaktur sabun dasarnya tinggal sama sampai tahun
1916, ketika detergen sintetik pertama berkembang di Jerman saat Perang
Dunia I karena kekurangan lemak untuk membuat sabun. Detergen sintetis
adalah pembersih non-sabun dan produk pembersih biasanya dianggap sama
karena kesamaan bahan baku.
Produksi detergen rumah tangga di Amerika Serikat dimulai di awal
tahun 1930-an, tetapi tidak benar-benar serius pembuatannya sampai akhir
Perang Dunia II. Waktu perang, terhentinya persediaan lemak dan minyak.
Detergen pertama digunakan untuk mencuci piring dan baju berbahan
lembut. Penerobosan di perkembangan dari detergen untuk mencuci baju
serba guna digunakan muncul pada tahun 1946, ketika detergen berisi
surfaktan dikenalkan di Amerika Serikat. Surfaktan adalah produk
detergen bahan pembersih dasar dan membantu surfaktan untuk bekerja
lebih efisien. Senyawa fosfat digunakan sebagai surfaktan cocok untuk
mencuci baju yang sangat kotor.
Di tahun 1953, penjualan detergen di USA sudah melebihi sabun. Kini,
detergen sudah menggantikan produk dengan dasar sabun untuk mencuci
baju, piring dan perabotan rumah tangga.
Secara singkat, di tahun 1950-an, ada pencuci piring dalam bentuk
bubuk, sabun cuci baju cair, sabun cuci piring dan tangan serta
pembersih serba guna sampai detergen dengan pemutih oksigen.
Di era 1960-an, ada sabun pracuci kotoran dan penghilang noda, bubuk
pencuci baju dengan enzim dan sabun pra rendam. Di tahun 1970-an, muncul
sabun cuci tangan cair, pelembut kain dan sabun multifungsi. Tahun
1980-an, ada detergen khusus mencuci dengan air dingin, sabun cair untuk
cuci piring dan sabun cuci baju bubuk.
Di tahun 1990-an ada detergen bubuk dan cair ultra, pelembut kain super, pencuci piring gel sampai produk cuci baju refill.
Kelihatannya cukup banyak produk pembersih. Namun yang pasti, tak
seorangpun punya hobi mencuci. Tapi karena sebagian besar kita lebih
suka bila mengenakan pakaian yang bersih, pekerjaan yang tidak disukai
ini harus dikerjakan. Sepanjang sejarah banyak usaha dilakukan untuk
membantu kita mengerjakan pekerjaan mencuci. Pencucian dengan air saja,
bahkan dengan penggosokan atau putaran mesin sekeras apapun, akan
menghilangkan sebagian saja bercak, kotoran dan partikel-partikel tanah.
Air saja tidak dapat menghilangkan debu yang tak larut dalam air. Air
juga tak mampu menahan debu yang telah lepas dari kain agar tetap
tersuspensi (tetap berada di air, jadi tidak kembali menempel ke kain).
Jadi diperlukan bahan yang dapat membantu mengangkat kotoran dari air
dan kemudian menahan agar kotoran yang telah terangkat tadi, tetap
tersuspensi.Sejak ratusan tahun lalu telah dikenal sabun, yakni
persenyawaan antara minyak atau lemak dan basa. Awalnya orang-orang Arab
secara tak sengaja menemukan bahwa campuran abu dan lemak hewan dapat
membantu proses pencucian.
Walaupun berbagai usaha perbaikan pada kualitas dan proses pembuatan
sabun telah dilakukan, semua sabun hingga kini mempunyai satu kekurangan
utama yakni akan bergabung dengan mineral-mineral yang terlarut dalam
air membentuk senyawa yang sering disebut lime soap (sabun-kapur),
membentuk bercak kekuningan di kain atau mesin pencuci. Akibatnya kini
orang mulai meninggalkan sabun untuk mencuci seiring dengan meningkatnya
popularitas detergen.
Cara kerja detergen dalam kerjanya dipengaruhi beberapa hal, yang
terpenting adalah jenis kotoran yang akan dihilangkan dan air yang
digunakan yang tentu saja daya bersih detergen ditentukan oleh
surfaktan. Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan,
karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau
zat yang dapat menaik dan menurunkan tegangan permukaan.
Surfaktan yang biasa digunakan dalam detergen adalah linear
alkilbenzene sulfonat, etoksisulfat, alkil sulfat, etoksilat, senyawa
amonium kuarterner, imidazolin dan betain.
Tanpa mengurangi makna manfaat detergen dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada detergen
dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun
lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk detergen yakni surfaktan
dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap manusia dan lingkungannya.
Umumnya pada detergen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder)
seperti golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium
cloride, diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium phospate
(chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl
sulfate (SLS), sodium laureth sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene
sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa
nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat
menyebabkan kanker.
Senyawa SLS, SLES atau LAS mudah bereaksi dengan senyawa golongan
ammonium kuartener, seperti DEA untuk membentuk nitrosamin. SLS
diketahui menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses
penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.
Dalam laporan lain disebutkan detergen dalam badan air dapat merusak
insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan
terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun.
Keberadaan busa-busa di permukaan air menjadi salah satu penyebab kontak
udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan
demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat
menyebabkan kematian.
Builders, salah satu yang paling banyak dimanfaatkan di dalam
detergen adalah phosphate. Phosphate memegang peranan penting dalam
produk detergen, sebagai softener air. Bahan ini mampu menurunkan
kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat
aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci detergen meningkat.
Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly
Phosphate (STPP). Phosphate tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya
merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup.
Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, phosphate dapat menyebabkan
pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air,
sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae
(phytoplankton) yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri.
Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang
terdapat dalam air sampai suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan
air dan pada akhirnya justru membahayakan kehidupan mahluk air dan
sekitarnya. Di beberapa negara, penggunaan phosphate dalam detergen
telah dilarang. Sebagai alternatif, telah dikembangkan penggunaan
zeolite dan citrate sebagai builder dalam detergen
Dibandingkan detergen sintetik, sekarang sudah ada lo detergen alami dari buah lerak yang mulai dipasarkan orang. Ya, lerak memang buah pembersih asli Indonesia yang dipakai dari
sejak zaman dahulu bahkan nenek moyang kita pun menggunakannya untuk
mencuci kain batik yang sudah selesai dilukis. Mungkin ada baiknya bila
kita mulai melirik ke lerak sebagai pembersih alami yang efek ke
lingkungannya nyaris nol daripada menggunakan detergen sintetik yang
banyak diiklankan.
kutipan dari :http://www.analisadaily.com/news/47208/detergen-dan-lingkungan-hidup