Dua bulan terakhir ini, sekitar empat ekor gajah Sumatera ditemukan mati secara mengenaskan di Aceh. Salah satu diantaranya adalah kasus pembantaian seekor gajah Sumatera bernama ‘Papa Genk’ Desa Ranto Sabon, Kecamatan Sampoinet, Aceh Jaya, (tribunnews.com). bukan hanya itu, seekor gajah dewasa ditemukan mati di kawasan perkebunan kelapa sawit PTPN I Kabupaten Aceh Timur, Aceh. Diduga gajah itu dibunuh oleh sejumlah orang tak dikenal yang ingin mengambil gadingnya. “Saat ditemukan warga tadi, gajah dewasa itu sudah tidak bernyawa lagi. Diduga gajah itu sudah mati beberapa hari lalu,” kata Abdullah, warga setempat, kepada detik.com, Kamis (25/7).
Tak sampai disitu, Pekan lalu seekor bayi gajah, Raju, tak bisa diselamatkan akibat menderita malnutrisi akut di Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh besar. Ia ditemukan oleh masyarakat Gampong Blang Pante tanpa induknya. Sebelumnya, bayi gajah lain yang oleh masyarakat Blang Pante diberi nama Raja juga bernasib serupa. Bayi berusia sekitar dua bulan ini mati mengenaskan akibat malnutrisi.
Malnutrisi akut tersebut disebabkan oleh kurangnya pasokan makanan dan vitamin pada bayi gajah. Seekor bayi gajah harus mendapatkan antibodi yang cukup dari induknya. Bantuan vitamin dan susu saja tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Malnutrisi dapat menyebabkan gangguan diare, daya tahan tubuh menurun hingga kematian.
Bayi-bayi gajah tersebut kehilangan induk mereka, entah akibat tersesat ataupun induknya mati namun banyaknya penemuan induk gajah yang mati tanpa gading telah membuktikan dampak dari pemburuan liar tersebut.
Perambahan Hutan
Perambahan hutan telah membuat gajah kehilangan rumah dan makanan, saat mereka lapar tak ada pilihan lain selain mencari makanan hingga ke lahan warga. Hal inilah yang membuat gajah semakin terpuruk dan menjadi musuh para warga. Pembunuhan gajah untuk mengambil gadingnya pun tidak bisa dibiarkan. Tidak saja negara ini yang mendapatkan cap buruk di mata dunia, namun juga keselarasan hidup yang tidak bisa dijaga ini akan menimbulkan malapetaka dikemudian hari.
Perebutan kekuasaan antara hewan dengan manusia seperti semakin menjadi-jadi saja. Alih fungsi hutan dan perburuan menjadi penyebab utama kelangkaan hewan. Hutan yang seharusnya digunakan untuk hewan dan manusia bersama-sama sepertinya tak bisa dikompromikan lagi. Manusia semakin hari semakin banyak, apabila hutan terus dijamah maka akan tak mungkin suatu saat hutan akan digantikan dengan gedung dan kota. Bukannya malah semakin maju, makhluk hidup dibumi ini pun akan semakin kekurangan hutan dan pepohonan yang diciptakan untuk menghasilkan oksigen tersebut.
Gajah adalah hewan mamalia darat terbesar di dunia yang masih hidup, satu-satunya famili yang tersisa dari ordo Proboscidea. Hewan yang dapat hidup selama 70 tahun ini termasuk dalam hewan herbivora yang menghabiskan 16 jam sehari untuk mengumpulkan makanan. Gajah dewasa mengonsumsi 300 hingga 600 pon (140-270 kg) makanan perhari. Makanannya terdiri dari 50 persen rumput, ditambah dengan dedaunan, ranting, akar dan sedikit buah, benih dan bunga. Karena gajah hanya mencerna 40 persen dari yang dimakannya, mereka harus mengonsumsi makanan dalam jumlah besar. Gajah membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotorannya akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewati dan membantu proses regenerasi hutan alam
Gajah Sumatera kini digolongkan sebagai satwa terancam punah dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN (International Union for Conservation of Natur) setelah populasinya pada 1985 lalu turun dari 5.000 menjadi sekitar 2.400 hingga 2.800.
Masa Jaya Gajah
Dahulunya pada zaman kesultanan Aceh abad ke-17 gajah memenuhi rimba dan ditunggangi sebagai simbol keagungan sultan. Gajah pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kerajaan. Gajah liar diburu untuk dijinakkan dan dirawat dengan baik. Setelah jinak, gajah yang dipandang baik dan terbesar akan dijadikan gajah sultan. Sisanya untuk armada perang Aceh. Gajah-gajah perang itu dihias seindah mungkin dengan emas dan permata.
Namun pada masa sultanah Safiatuddin kepemilikan gajah tak terbatas lagi pada Sultan. Aceh tak hanya mengoleksi gajah namun juga mengekspor dan membarternya dengan hewan lain. Seiring meredupnya Kesultanan Aceh, gajah bisa dimiliki oleh orang-orang kaya. Memasuki abad ke 20, gajah semakin tak terlindungi lagi, ia hanya menjadi barang buruan, dagangan, bahkan menjadi musuh warga.
Namun kini, gading yang berfungsi sebagai alat perlindungan bagi gajah ini menjadi incaran para pemburu untuk kepentingan komersil. Gading-gading gajah memiliki harga yang sangat mahal. Tingginya harga pun bervariasi, tergantung kualitas dan besarnya ukuran pipa gading tersebut. Gading gajah yang diambil dengan cara dipotong memiliki kualitas yang lebih rendah daripada yang dicabut dari akarnya, karena itu para pemburu mengambil gading dengan cara membunuh sang gajah terlebih dahulu. Biasanya gading tersebut digunakan sebagai perhiasan ataupun dekorasi rumah, bahkan, sebagian percaya gading ini berkhasiat sebagai jimat, penangkal roh jahat, penolak racun dan untuk artefak keagamaan. Akibat kepercayaan dan langkanya hewan tersebut gading gajah dapat mencapai ratusan juta rupiah.
Selamatkan Gajah Sumatra
Namun, mahalnya harga sepotong gading gajah tak lantas menghalalkan perbuatan keji tersebut. Sebagai manusia yang memiliki akal, seharusnya kita dapat membiarkan para gajah hidup aman di atas muka bumi ini. Gajah bukanlah hewan yang buas, mereka bisa dijinakkan dan bermanfaat bagi manusia. Kematian gajah dalam jumlah besar akan berdampak pada kelestarian hutan di kemudian hari.
Selain itu, pemerintah juga harus mampu menghentikan perburuan liar ini. Hingga saat ini, belum ada satupun pelaku yang dihukum penjara akibat kasus pembunuhan gajah tersebut. Para pemburu harus segera diseret ke pengadilan dan dihukum sesuai dengan aturan. Aparat hukum sebagai lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan keadilan di negara ini harus segera melakukan tindakan sebelum gajah lain mati kehilangan gadingnya.
kutipan dari
sumber : http://www.analisadaily.com/news/38333/ironi-gajah-sumatera